DASAR HUKUM PELAKSANAAN PEMILU 2019
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR pada 21 Juli lalu kini sudah resmi bisa diberlakukan.
Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017 telah mengesahkan Undang-Undang Nomor (UU) 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). UU ini terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ini menjadi dasar hukum penyelenaggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres tahun 2019 yang diselenggarakan secara serentak.
Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dan dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud, dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.
Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dan dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud, dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.
SANGSI HUKUM PEMILU 2019
Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 merupakan pesta demokrasi pertama di Indonesia yang akan dilaksanakan secara serentak selain untuk memilih anggota parlemen (DPR RI, DPRA, dan DPRK), serta anggota DPD dan memilih pasangan presiden/ wakil presiden sekaligus. Pemilu 2019 mendatang merupakan ujian demokrasi Indonesia untuk masa-masa mendatang sekaligus menjadi ikon pesta demokrasi dunia.
Oleh karenanya, peserta pemilu yang terdiri dari 20 partai politik (parpol) dan 4 di antaranya partai lokal, akan menggunakan varian cara dan siasat agar dapat meraup suara masyarakat sebanyak-banyaknya.
Sebagai negara hukum (rechstaat) tentunya kepastian dan supremasi hukum adalah sebagai ciri utamanya, dan regulasi yuridis normatif pemilu 2019 adalah UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam UU ini secara tegas dijelaskan beberapa larangan dan sanksi hukum bagi peserta pemilu yang melanggar ketentuan-ketentuan atau the rule of game. Yang dimaksud peserta pemilu adalah parpol untuk pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/ kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol untuk pemilu presiden/wakil presiden.
Setelah penetapan DCT (Daftar Calon Tetap) pada 20 September 2018, yang menjadi peserta pemilu adalah seluruh calon legislatif.
Artinya, mereka secara personal dapat mengajukan keberatan atau membuat laporan kepada Pengawas Pemilu, jika menilai telah terjadi kecurangan atau pelanggaran termasuk hal-hal lain yang merugikan para caleg.
Pada pemilu kali ini, peserta pemilu terikat dengan beberapa ketentuan yang harus dipatuhi agar tidak ada sanksi hukum (pidana kurangan) mulai 6 bulan hingga 6 tahun dan ditambah hukuman denda mulai Rp 6 juta hingga paling banyak Rp 100 miliar.
Lalu apa yang melatarbelakangi Pemilu tahun 2019 dilakukan serentak?
Hal itu bermula saat akademisi Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak menggugat UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu terregister dengan nomor 14/ PUU-XI/ 2013.
Alasan mereka sederhana, penyelenggaraan pemilu serentak lebih efisien baik dari segi waktu maupun biaya.
Berdasarkan perhitungan anggota KPU saat itu, yang dikutip dalam permohonan, penyelenggaraan pemilu serentak bisa menghemat anggaran Rp 5 sampai Rp 10 triliun.
Sedangkan berdasarkan perhitungan Anggota DPR F-PDIP Arif Wibowo, pemilu serentak mampu menghemat dana sekitar Rp 150 triliun, atau sepersepuluh APBN dan APBD.
Singkatnya, MK mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Majelis hakim MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak.
Dikutib dari Tribunnews.com- Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan publikasi hasil hitung cepat atau quick count pada waktu pemungutan suara baru dapat diumumkan pada pukul 15.00 WIB.
Dalam pertimbangannya, MK menyebut pengaturan dalam Pasal 449 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu dimaksudkan untuk melindungi kemurnian suara pemilih.
"Dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan asas dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945, kemurnian suara pemilih, terutama untuk pemilih yang sedang memberikan suaranya di wilayah Indonesia bagian barat yang mana penyelenggaraan pemilunya lebih lambat 2 (dua) jam dari Indonesia bagian timur dan lebih lambat 1 (satu) jam dari Indonesia bagian tengah, harus tetap dijaga karena pemungutan suarnya belum selesai dilaksanakan," kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/4/2018).
Perbedaan pembagian waktu di Indonesia ini dengan yang lain adalah selama satu jam.
Dengan demikian penyelenggaran pemilu di Indonesia bagian timur lebih cepat dua jam daripada Indonesia bagian barat.
Demikian pula dengan pelaksanaan pemilu di Indonesia bagian tengah lebih cepat satu jam daripada di Indonesia bagian barat.
Selisih waktu dua jam antara wilayah WIB dengan wilayah WIT memungkinkan hasil penghitungan cepat Pemilu di wilayah WIT sudah diumumkan ketika pemungutan suara di wilayah WIB belum selesai dilakukan.
Untuk diketahui, MK menangani uji materi setelah pemohon mengajukan permohonan.
Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVII/2019 yang diajukan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) merasa dirugikan dengan berlakunya:
- Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6),
- Pasal 509 serta
- Pasal 540 UU Pemilu.
Pemohon beralasan, dengan dihidupkannya kembali frasa:
- Larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang; dan
- Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
beserta ketentuan pidananya dalam UU Pemilu, maka pembentuk undang-undang telah melakukan pembangkangan terhadap perintah konstitusi dan melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu asas ketertiban dan kepastian hukum.
Padahal Pemohon secara kelembagaan telah mempersiapkan seluruh resources untuk berpartisipasi dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa” melalui pelaksanaan riset atau survei dan mempublikasikannya.
Namun demikian, upaya Pemohon tersebut potensial dibatasi atau bahkan dihilangkan dengan keberlakuan pasal-pasal a quo.
Sebagaimana diketahui, seluruh norma dari pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah melalui tiga putusan yakni Putusan Nomor 9/ PUU-VII/ 2009 bertanggal 30 Maret 2009, juncto Putusan Nomor 98/ PUU-VII/ 2009 bertanggal 3 Juli 2009, juncto Putusan Nomor 24/ PUU-XII/ 2014 bertanggal 3April 2014.
PETA KEKUATAN
Jumlah pemilih di dalam negeri, menurut ketua Komisi Pemilihan Umum per tanggal 8 April lalu, mencapai 192.866.254, termasuk 2.086.285 pemilih di luar negeri. Bagi warga Indonesia yang tinggal di luar negeri, pemilihan umum berlangsung tanggal 8 -14 April.
Jumlah mereka yang punya hak pilih pada 2019 sekitar 193 juta, lebih banyak 2,4 juta orang dibandingkan pemilihan umum 2014.
Hasil Pemilu 2014
Sumber: KPU
Pada pemilu tahun 2014, jumlah TPS sekitar 500.000 dan setiap TPS melayani sekitar 400 pemilih.
Pada Juli, 2014, KPU menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai peraih suara terbanyak Pemilu Presiden 2014.
Saat itu, Joko Widodo dan Jusuf Kalla memperoleh 70.997.85 suara atau 53,15%, selisih 8.421.389 suara dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang meraih 62.576.444 suara atau 46,85%.
Pada Rabu (17/04), Indonesia menjalankan lima pemilihan umum secara bersamaan yaitu pemilihan presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Setiap pemilih akan mendapat lima surat suara dengan warna berbeda.
Pada pemilu legislatif, sebanyak 575 orang anggota legislatif akan dipilih dari 16 partai peserta pemilu.
PROSES PENGHITUNGAN SUARA
CATATAN
Dengan menggunakan Hak Pilih kita, maka kita akan terlibat dalam demokrasi sejarah bangsa ini dan menentukan nasib kita ke 5 tahun yang akan datang.
Jumlah Suara diwilayah TPS 20 RW. 02 Kel. Jepara Surabaya 192 (Seratua Sembilan Puluh Dua)
Hasil Penghitungan Kompas TV:
Supaya tidak ketinggalan berita-berita terkini, terlengkap, serta laporan langsung dari berbagai daerah di Indonesia, lanjut subscribe channel KompasTV. Aktifkan juga lonceng supaya kamu selalu dapat notifikasi video-video baru.
☆☆☆☆☆
No comments:
Post a Comment
Kami harapkan artikel yang ada dapat bermanfaat bagi pembaca setia kami. Kami Harapkan saran dan kritik yang membangun atas artikel maupun blog kami. Dan jangan lupa berlangganan artikel kami. Terima Kasih
Ttd.
Admin Blog Kartar Mahameru RT.15 RW.02 Kel. Jepara Surabaya